Sabtu, 23 Januari 2016

Keresahan Malam Mingguku

Standard
Perjalanan pulang pada malam kali ini membuatku resah. Keresahan yang membawa hatiku bergelora untuk tergerak membuat tulisan ini.

Dalam perjalanan menuju rumah, kudapati suara sirine semakin jelas terdengar. Dari radius entah berapa km, sayup-sayup suara sirine itu mulai berpadu dengan suara music dari handsfree di telingaku. Sumber suara sirine bagiku antara dua hal, yaitu ambulan atau polisi. Karena aku berkendara sepeda motor bersama ayahku, maka laju kami lebih cepat dibandingkan mobil-mobil yang sudah memadati jalan di sebelah kanan. Ya, teman-teman pasti tahu ruang sepeda motor di jalan raya. Tentu saja di bagian paling kiri dari ruang jalan raya, dan cukup minimalis bila kemacetan terjadi. Hanya beberapa pengendara saja yang melalui ruang tengah jalan raya.

Kami melaju terus tanpa hambatan berarti diikuti dengan suara sirine yang intensitasnya semakin kuat dan besar diterima oleh telingaku. Ternyata, sumber suara tersebut adalah sirine ambulan sebuah rumah sakit di Cibubur. Sirine itu nyaring terdengar, dan aku yakin sekali semua orang yang berada dekat dengan ambulan tersebut mendengarnya, kecuali yang memiliki gangguan pendengaran. Pun semua pengendara kendaraan bermotor mayoritas memiliki fungsi pendengaran yang baik. Kondisi jalan raya dalam keadaan yang cukup padat  namun masih memungkinkan untuk bergerak maju sejauh 2-3 m dengan rentang waktu yang tidak lama. Bagaimana dengan nasib ambulan tadi? Teman-teman mungkin dapat menebaknya. Tentu saja ambulan tersebut bernasib sama dengan mobil-mobil lainnya. Padahal, kita tahu bahwa ada nilai prioritas di sana ketika sirine ambulan berbunyi. Ada keadaan mendesak. Darurat, menyangkut kesehatan manusia, kebutuhan dasar yang vital, dapat pula menyangkut nyawa.

Melihat kondisi tersebut, sontak aku teringat pada postingan di salah satu jejaring sosial. Postingan tersebut menarik perhatianku kala itu, namun hanya sekian detik saja, kemudian berlalu. Tapi kini postingan itu merasuk hati yang sedang resah. Artikel tersebut menceritakan tentang sebuah negara, tepatnya adalah warga negaranya yang memiliki perilaku unik ketika jalan raya sedang padat (macet). Mereka, pengendara kendaraan bermotor (re: mobil) itu hanya menggunakan ruang jalan sebelah kanan dan kiri. Mereka mengosongkan ruang tengah jalan raya tersebut. Makna dari perilaku tersebut adalah memberikan ruang prioritas kepada yang membutuhkannya dalam keadaan darurat, seperti ambulan, pemadam kebakaran, dan yang lainnya. Menarik bukan? Mungkin bagi mereka itu tidak menarik karena menjadi hal yang biasa mereka lakukan. Akan tetapi, bagiku secara pribadi, adalah hal yang menarik karena aku tidak pernah melihat kejadian seperti itu terjadi, di sini, tanah airku. Atau mungkin teman-teman pernah melihatnya? Syukurlah kalau ada yang pernah. Kalau tidak, menjadi sebuah pertanyaan bagiku pribadi dan seharusnya juga kepada teman-teman, karena kita adalah manusia.

Katanya, manusia adalah makhluk sosial. Makhluk yang membutuhkan bantuan orang lain dan tidak dapat hidup sendiri. Makhluk satu-satunya pemilik harta bernama nurani, yang membedakan manusia dengan makhluk Tuhan yang lain, spesial. Itu yang aku pelajari sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Menanggapi fenomena ambulan tadi dan juga adanya penambahan wawasan tentang perilaku yang ditunjukkan oleh warga negara di negara lain tersebut di atas, bagaimana pendapat teman-teman?

Tentu saja pendapatku adalah mungkin sekali kita teladani perilaku memberikan ruang prioritas di jalan. Tentu saja kepada yang berada dalam keadaan darurat untuk kepentingan masyarakat, bukan pribadi apalagi golongan, seperti ambulan tadi. Aku tahu, semua pengguna jalan raya memiliki berbagai keinginan, seperti ingin cepat sampai tujuan, sudah lelah, dan lain hal sehingga belum mampu terpikirkan sebuah solusi untuk memberikan ruang prioritas ketika jalan raya cukup padat. Macet bukan lagi menjadi alasan karena kita telah melihat hal serupa di negara lain. Mengapa kita tidak bisa? Padahal, sebagai pengendara kendaraan bermotor, tentukan saja untuk ambil posisi jalan paling kiri atau paling kanan, selap-selip diantara mobil ketika memiliki kesempatan dan mengosongkan ruang jalan raya bagian tengah.  Jika semua pengendara memikirkan hal ini ketika mulai mendengar sirine sebagai tanda keadaan darurat, makan ruang prioritas dengan mudah tercipta.
Keresahanku ini mungkin adalah puncaknya setelah membaca artikel di sebuah jejaring sosial. Terkait pihak yang menunggu bantuan darurat tersebut, Aku tahu, yang mengatur semuanya adalah Yang Maha Kuasa dengan takdirnya. Tapi, tak bisakah makhluknya berusaha barang sedikit saja untuk merubah nasib/takdir? Karena dari yang aku pelajari pada ajaran agama Islam bahwa kita dapat merubah takdir ketika kita mau berusaha. Ini sesuai dengan ayat Al-Qur’an yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang pada diri mereka (Q.S Ar-Rad: 11).

Terima kasih kepada teman-teman yang mau membaca secuil keresahan dari makhluk Tuhan yang satu ini. Terima kasih banyak bagi yang membaca tulisan ini bila mulai mau melakukan hal tersebut di atas. Hal kecil terkadang memberikan pengaruh yang cukup signifikan meskipun dilakukan seorang diri, apalagi jika dilakukan bersama. Kritik dan saran sangat terbuka demi memperkaya pendapat ini yang cukup mendasar. Tulisan ini dibuat atas dasar emosionil penulis karena keresahannya, sebagai pemilik harta bernama nurani.

Cileungsi, Malam minggu
23 Januari 2015 21.24

Selasa, 12 Januari 2016

BBM: Berani Berbagi Mimpi

Standard
BBM, bukan akronim Bahan Bakar Minyak apalagi Bakso Bakwan Malang ._.
BBM yang dimaksud adalah Berani-Berbagi-Mimpi atau Dare to Share a Dream.

Terlalu lama tidak menulis, membuatku kehabisan kata-kata dan menjadi kaku untuk menulis. Maka, Aku memutuskan untuk menulis sekaligus berbagi tentang salah satu impianku kepada, kamu. Baru-baru ini, sebuah impian sangat mengganggu pikiran dan perasaanku. Perasaan ini yang hendak aku ceritakan kepada, kamu.

Kini Aku sudah berada pada ujung tanduk semester perkuliahan. Maka, skripsi adalah sesuatu hal lumrah bagi calon sarjana sepertiku ini. Jika Tuhan mengijinkan, Aku akan menjadi sarjana pada bulan Agustus 2016 (aamiin). Tapi, tentu skripsi, sebut saja si S itu harus Aku rampungkan hingga tuntas. Kenyataannya, kini Aku masih dalam proses pengerjaan proposal penelitian. Jika diibaratkan sebagai jarak tempuh perjalanan, maka saat ini Aku masih berada pada 1/4 jalan menuju tujuan akhir. 

Aku memilih bidang keperawatan maternitas untuk Si S ini. Tahukah kamu? Intinya, keperawatan maternitas adalah ilmu keperawatan yang berfokus untuk meningkatkan kesehatan reproduksi dan kehamilan atau melingkupi kesehatan ibu dan anak. Lebih spesifik lagi, Si S kepunyaanku akan membahas terkait peran menjadi ibu pada wanita yang baru pertama kali melahirkan (primipara). Sounds interesting, isnt it?

Suatu ketika saat Aku bimbingan dengan dosenku, beliau membuatku sadar akan suatu hal, yaitu kebermanfaatan sebuah penelitian.

"Coba perhatikan semuanya dibagian manfaat. Bagi Masyarakat. Apakah dengan data penelitian yang nanti akan dihasilkan akan memberikan manfaat kepada masyarakat secara langsung? Dengan penelitian ini, kita hanya akan mendapatkan informasi saja dari responden tanpa memberikan manfaat secara langsung. Kecuali kalau penelitiannya dengan memberikan suatu perlakuan eksperimen/intervensi/tindakan kepada responden penelitian kita."

Kalimat di atas tidak sepenuhnya tepat pada setiap kata, namun inti pesannya adalah demikian. Sejujurnya, saat menuliskan bagian manfaat pada Pendahuluan, Aku tidak sampai berpikir sejauh itu. Itulah yang membuatku sadar pada sesuatu hal yang mungkin 'sepele' untuk ditulis. Karena kesadaran itulah, impian untuk menerbitkan sebuah buku mulai mengganggu pikiranku.

Pada sub-bab manfaat di proposal penelitian, kutuliskan manfaat bagi ibu primipara (responden penelitian). Setelah kupikirkan lagi atas perkataan dosenku, ada benarnya juga. Untuk apa Aku tulis jika sebenarnya penelitianku ini tidak memberikan manfaat secara langsung untuk Ibu primipara? Ya memang bisa jadi bermanfaat, tetapi terlalu jauh. Hasil penelitianku ini yang merupakan penelitian studi deskriptif/gambaran hanya dapat memaparkan gambaran data fenomena kepuasan peran menjadi ibu. Data ini dapat bermanfaat untuk tenaga kesehatan atau pihak yang memiliki kepentingan untuk menindaklanjuti data ini. Namun, tidak bagi masyarakat ataupun Ibu primipara.

Kemudian Aku berpikir. *Ting* Buku! Ya, Membuat Buku!

Kata tidak mungkin akan menjadi mungkin bagi Masyarakat atau Ibu primipara untuk mendapat manfaatnya secara langsung melalui sebuah buku. Buku dapat memberikan informasi kepada sasarannya, yaitu pembaca. Maka dari itu, Aku percaya bahwa Impossible dapat bertransformasi menjadi I'm possible. Sejak saat itu, impian ini selalu menghantui dan menggebu.

Pertanyaan besar, muncul. Bagaimana Si S dapat dijadikan sebuah buku?

Ah, Aku jadi ingat perkataan seseorang. Dia bilang, ketika kita hendak mencari cara untuk mencapai sesuatu, mulailah dari kata tanya "Siapa", bukan "Bagaimana". Karena menurutnya, dari jawaban "Siapa" kita akan mendapatkan jawaban "Bagaimana". Dan, Aku sudah tahu jawaban "Siapa", juga Aku sudah mendapatkan jawaban "Bagaimana".

Pada akhirnya, Aku memberanikan diri untuk menulis. Tulisan ini memiliki tujuan sebagai pengingatku sendiri agar Aku tidak lupa bahwa saat ini Aku bersemangat sekali akan mewujudkan impian ini. Si S akan tuntas dalam 4-5 bulan ke depan. Bukan tidak mungkin manusia berubah pikiran, karena Tuhan yang menciptakannya dapat berkehendak untuk membolak-balikan hati manusia dalam sekejap. Pun, tulisan ini juga dapat membantuku sebagai pengingat dan penyemangatku melalui, kamu. :)

Ceritaku ini ternyata sesuai sekali dengan quotes oleh Walt Disney. First, think. Second, believe. Third, dream. And finally, dare. Juga tak lupa bahwa Man propose it, God Dispose it. Kamu juga dapat mencobanya! :)



12 Januari 2016
23.29 WIB