Dua malam, Aku
bertemu dengan seorang Kakek dengan tongkat yang selalu menemaninya…
Pertemuan pertama, Aku, Kakek, memiliki dunia yang berbeda.
Malam hari sekitar pukul setengah
sepuluh di Terminal. Kini, sudah rutinitasku setiap hari Selasa dan Kamis. Aku
mengajar di salah satu daerah, perbatasan antara Depok dan Jakarta Selatan.
Rutinitasku menunggu angkutan umum yang datangnya se-abad karena Aku berada
pada titik pemberhentian akhir. Aku selalu berada di waktu kritis, antara
angkutan itu datang karena sopirnya ingin pulang, atau bahkan ada karena memang
sudah keberuntunganku. Alhamdulillah, selama ini Aku selalu beruntung, meski
harus jalan kaki beberapa meter. Ceritanya sih mau sambil ikhtiar, daripada
harus berdiri mematung dalam gelapnya malam. Hal itulah yang menyebabkan Aku
sampai di Terminal hingga pukul setengah sepuluh malam.
Disebuah terminal.
Angkutan umum dengan kapasitas
maksimum 14 penumpang malam itu sedang sepi. Hanya ada seorang Kakek yang sudah
menempati posisinya yang kulihat nyaman baginya di belakang supir. Kulihat
dirinya bersandar pasrah, memangku tas punggung, dan sepasang tongkat yang disandarkan
ke pembatas zona depan angkutan dengan zona belakang. Aku, seperti biasa. Di
pojokan, mencari jendela, menikmati angin, dan bersandar. Kala itu, duniaku,
duniamu. Aku, sibuk dengan handphone, meski beberapa kali melihat sekeliling,
termasuk Kakek itu, dan berlalu begitu saja.
Pertemuan Kedua, Aku menyelam dalam pikiran tentang Kakek.
Tadi malam, kedua kalinya Aku
bertemu dengan Kakek. Akan tetapi, suasana pertemuan yang kedua sangat jauh
berbeda dengan yang pertama. Aku, tiba terlebih dahulu daripada kakek. Kondisi
angkutan sudah cukup penuh. Posisi pojok belakang supir sudah ada yang
menempati, dan pojok-pojok juga sudah ada yang menempati. Aku, duduk diapit
oleh 3 orang di sebelah kiriku dan 2 orang di sebelah kananku. Tinggalah posisi
duduk untuk dua orang di dekat pintu, di belakang kursi zona depan angkutan. Sekitar
pukul sembilan malam, seorang Kakek datang. Ternyata, Kakek yang pernah kulihat
sebelumnya.
Kakek datang, masuk angkutan
dengan cukup sulit upayanya untuk duduk dan cukup ribet dengan sepasang tongkat
yang di pegangnya.
“Eh, takut jatoh itu. Ntar kalo
jatoh, tanggung jawab lu”, seru tukang parkir terminal.
“Ki, naik yang di belakang aja.”
“Udah , gapapa. Jalan aja jalan.
Nih, masih ada satu, biar saya yang di tepi.”, kata Kakek
“Udah gapapa bang. Kita Cuma mau
numpang kok.”, sahut dua pengamen muda.
“Udah jalan aja. Nggak jatoh
nggak, kan pegangan ini nih. Coba saya yang di tepi, kan lebih enak. Bisa. Kalo
nggak bisa, nggak mungkin saya bisa sampai sini.”, kata Kakek dan mulai
menggeser badannya menjauhi tepi pintu angkutan dengan cukup sulit.
“Mbak, mbak, tukeran aja mbak”,
seruku kepada mbak-mbak yang duduk di belakang supir, tempat duduk Kakek
ketika saya melihat pertama kali. Namun, tak ada respon. Entah suara saya yang
terlalu kecil, atau lembut, atau halus :p atau si mbak-mbak yang tidak dengar
atau apatis (eh?). Saya, ge-re-ge-tan. Akhirnya angkutan melaju dengan
keadaan penuh penumpang.
“Kayak nggak biasa aja, Baru
ketemu ya? Saya mau baca dulu.”, sahut Kakek.
Kemudian, kakek yang sudah
memangku tas punggungnya dan menggantungkan tongkatnya di lengan, mengeluarkan
buku agenda berwarna hitam dengan tulisan “excecutive agenda” di covernya. Lalu,
kakek dengan kacamatanya memegang pulpen serta menggenggam handphone. Sesekali
Kakek menjepit handphone dengan mulutnya, kemudian menulis. Aku, tidak tahu.
Apakah Kakek itu sedang membaca atau menulis sesuatu hal. Yang pasti, menulis
di dalam angkot itu sulit sekali karena Aku pernah melakukan hal itu.
“Bang, kiri bang.”, sahut
penumpang.
Beberapa penumpang turun, termasuk
dua pengamen yang tadi menumpang. Namun, kursi pojok belakang supir masih
ditempati seorang penumpang. Kakek mulai kesulitan mengendalikan pegangan
tongkatnya. Namun, ia berhasil.
“Kiri bang.”, sahut lagi
penumpang. Kali ini, banyak penumpang turun,
termasuk dua orang di sampingku. Pojok belakang supir pun, kosong.
“Nah, pindah tuh Ki ke belakang”,
sahut supir.
“Apa? Ki? Kayak nggak pernah
ketemu aja. Pung. Hahaha..”, seru Kakek yang sambil memundurkan badannya ke
tempat nyamannya. Sekarang, sudah berada tepat di sampingku.
Aku, masih memegang dan membaca buku
kecilku yang berwarna hijau, memangku tas punggung, dan handphone. Tidak ingin
menoleh ke arah Kakek. Tapi, yang Aku tahu, Kakek masih sibuk menulis, melihat
handphone, dan menulis lagi. Kemudian, sesekali aku menoleh, melihat tulisan
Kakek. Kemudian, Aku bingung, Aku berpikir. Tahukah apa tulisannya? Satu kata
yang dapat Aku baca dan ingat, “esia” dan beberapa kata yang lain.
Aku ingin bertanya, tapi Aku
ragu. Asumsiku adalah Kakek sedang belajar menulis. Kakek menuliskan setiap
kata yang ada di handphonenya. Lebih tepatnya, message di inboxnya. Ya, sekali lagi, itu asumsi karena Aku tidak
bertanya. Asumsi itu berputar-putar di pikiranku.
Kalau menurut KBBI, asumsi adalah
dugaan yang diterima sebagai dasar, landasan berpikir karena diangggap benar. Cohen
(2000) mengatakan bahwa asumsi adalah kepercayaan, gagasan, dugaan, atau
pemikiran yang dimiliki oleh seseorang, sekelompok orang, atau para ahli
internal atau eksternal mengenai suatu subjek.
Ibarat penelitian, maka asumsi
yang muncul merupakan hipotesis penelitian. Hipotesis muncul dari serangkaian
hasil observasi dan harus diteliti untuk mengetahui apakah hipotesis itu benar
atau tidak. Ya, asumsi saya muncul dari hasil observasi, pengamatan yang saya
lihat. Namun, memang asumsi tidak selamanya benar atau valid, hanya apa yang
kita yakini. Langkah strateginya adalah bertanya, maka tidak akan tersesat ke
dalam pemikiran diri sendiri. Sperti mengupas bawang, asumsi berada pada layer
bawang paling luar. Kita harus menggali sumber hingga inti, baru bisa temukan
jawaban atas kebenaran asumsi. Masalahnya adalah, “malu bertanya, sesat di jalan”.
Semoga saja Aku dipertemukan
dengan Kakek lagi. Sehingga Aku bisa menguji dan mempertanyakan asumsiku, benar ataukah salah. Jika
benar, maka Aku dapat melakukan sesuatu hal untuknya. Jika salah, artinya aku harus belajar untuk sampai tahap action, bukan hanya berputar pada pemikiran yang dapat menyesatkan. Itulah caring, bukan kepo. :)
Sumber:
Cohen, WA. (2000). A Class with Drucker. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
8 Juni 2015
Ruang Rutinitas