Jejaringku!

Kamis, 06 Januari 2022

Seni Mengikhlaskan Diri


Assalamualaikum,

Hey, apa kabar? Semoga sehat selalu yaaa~

By the way, Happy New Year! Selamat tahun baru semuanya! Semoga semakin baik dari tahun-tahun sebelumnya. Aamiin!

Umumnya, tahun baru dimaknai dengan harapan baru dan juga semangat baru. Sama seperti yang dilakukan orang kebanyakan juga ketika memasuki tahun baru, yaitu menyusun resolusi alias menyusun rencana-rencana yang harapannya dapat tercapai di tahun baru dan tahun-tahun berikutnya berdasarkan hasil refleksi diri dari tahun sebelumnya. Akupun begitu dan sudah kulakukan itu. Semuanya, penuh harapan/keinginan yang lebih baik di masa mendatang. 

Beberapa hari setelah aku memikirkan dan membuat resolusi itu, ada banyak hal yang menggiring pikiranku kepada hal sangat penting dari menyusun sebuah resolusi, yaitu membangun seni mengikhlaskan. Ibarat kamu siap untuk terbang, tapi kamu juga siap ketika harus terjun. Atau bahkan kamu tidak akan merasakan apapun ketika kamu ternyata sedang terjun jauh. 

Banyak orang mengatakan, ikhlas itu tidak semudah saat kita mengatakannya kepada diri sendiri atau orang lain. Bagiku, itu benar karena ada proses panjang untuk menuju keikhlasan. Dalam perspektif islam, ikhlas itu melakukan sesuatu/amalan hanya karena Allah semata tanpa campur tangan harapan apapun, dan murni hanya karena bentuk penghambaan padaNya. Menurut seorang ulama, Syekh Imam Nawawi, ikhlas itu ada tiga tingkatannya.

Tingkat pertama, yang paling tinggi adalah melakukan ibadah tanpa mengharapkan apapun, tidak mengaharapkan pahala, atau surga sekalipun. Bahkan tidak peduli pula apakah surga atau neraka yang akan didapat. Ikhlas pada tingkat ini hanya fokus kepada bentuk penghambaan kepada Allah SWT.

Tingkat kedua, melakukan ibadah dengan mengharap pahala yang besar. Pada tingkatan ini, ada keinginan bahwa dengan melakukan ibadah kepada Allah dapat memperoleh surga, terhindar dari siksa api neraka, dan selamat di akhirat kelak.

Tingkat ketiga, melakukan ibadah tidak hanya mengharap adanya balasan akhirat, tetapi juga mengharapkan adanya balasan kebaikan di dunia. Tingkat keikhlasan ini merupakan yang terendah, yaitu masih memiliki keinginan mendapat balasan kebaikan di dunia, seperti kelancaran rezeki, dipermudah segala urusan, dan lainnya.

Di mana ada harapan, di sanalah selalu ada peluang untuk kekecewaan. Makanya, pesan bijak menyikapi ini adalah taruh harapanmu pada Tuhan, bukan kepada manusia. Maka, peluang kekecewaan akan menjadi lebih kecil dibandingkan dengan menggantungkan harapan kepada manusia. Pun, jika menaruh harapan pada Tuhan, tetap saja ada peluang kekecewaan, karena ada harapan di sana. Itu sebabnya ada seseorang yang marah, kecewa atau bahkan menyalahkan Tuhan. Memang yang paling benar adalah berada pada ikhlas tingkat paling tinggi, tanpa harapan, tanpa kekecewaan, fokus pada pemenuhan tanggung jawab sebagai hambaNya.

Ketika aku berkaca pada diri sendiri, sebenarnya kita pasti pernah berada pada tingkat ikhlas tertinggi namun kita perlu melewati tingkat ikhlas dari yang paling rendah dulu. Coba saja kamu pikirkan momen ketika kamu mengalami kekecewaan hingga kamu rela dan menerima kekecewaan itu. Ketika kamu melepas kekecewaan, pasti kamu telah melepaskan harapanmu, artinya kamu sudah tidak memiliki atau menggantungkan harapan itu, yang penting sudah melakukan/melaluinya dengan versi terbaik yang bisa dilakukan. Benar begitu bukan? Tentunya, fluktuasi kekecewaan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang sudah konsisten dengan tingkat ikhlas paling tinggi.

Apa kaitannya ketiga tingkatan ini dengan seni mengikhlaskan? Oh, tentu saja ada. Menurutku, sah-sah saja kita memilih tingkat keikhlasan yang mana. Semua tergantung bagaimana kita telah menghadapi berbagai macam persoalan dalam hidup. Aku menyebutnya seni, karena sebagai manusia biasa terkadang memiliki emosi yang naik turun. Pada satu persoalan, kita berada pada tingkat ikhlas yang terendah, dan pada persoalan yang lain, kita bisa saja pada ikhlas dengan tingkat tinggi. Ragam permasalahan hidup yang telah dilalui bahkan dapat mengarahkan kita langsung kepada tingkat ikhlas paling tinggi. Setidak-tidaknya, ada perasaan ikhlas pada setiap tindakan yang kita lakukan.

Setiap menyambut tahun baru, kebanyakan orang menyiapkan resolusinya, entah meneruskan resolusi yang lalu atau membuat resolusi yang baru. Namun, kadang kita lupa untuk membangun seni mengikhlaskan ini sebab terlalu antusias menyambut segala harapan yang direncanakan. Jadi, jika kamu kecewa, coba cek, pasti ada harapan tergantung di hatimu. Semangat membangun seni mengikhlaskan diri!☺



Referensi :

https://islam.nu.or.id/tasawuf-dan-akhlak/tiga-tingkatan-ikhlas-menurut-syekh-nawawi-banten-d1J24