“…dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu, akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
Surat R.A Kartini kepada Ny. Abendanon, 15 Juli 1902 dikutip dari Majalah Tempo edisi khusus Hari Kartini.
Selamat hari Kartini 2016! Selamat berjumpa dengan tulisan
saya kembali setelah beberapa bulan vakum karena segala urusan yang berbau
skripsi. :3
Ada yang menarik hati sehingga
saya ingin sekali membuat tulisan tentang perempuan peretas batas yang sempat saya
baca ulasannya dari majalah Tempo edisi khusus Hari Kartini. Ada satu sosok perempuan
yang menarik untuk saya ulas kembali pada tulisan ini dan memberikan saya
inspirasi juga sekaligus menggugah hati untuk terus bermanfaat kepada
masyarakat. Entah bagaimana bisa terjadi, jika dianalogikan, hati ini rasanya
mendidih seperti air yang direbus dalam suhu 100C.
Dalam perspektif keperawatan,
setiap indvidu merupakan makhluk yang unik sehingga tidak dapat disama-ratakan.
Namun, setiap individu pasti memiliki energi. Ada teori yang mengatakan bahwa
energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, tetapi dapat dirubah bentuknya
menjadi energi lainnya. Inilah yang membuat energi setiap individu berbeda. Ada
yang mengalihkan energi untuk hal-hal positif, adapula yang mengalihkannya ke
dalam hal-hal negatif.
Rosalinda Delin adalah salah satu
perempuan dengan energi positif yang luar biasa untuk melayani masyarakat. Beliau
adalah bidan desa di Belu, Nusa Tenggara Timur. Kiprahnya sangat besar dalam
upaya meningkatkan kesehatan ibu dan anak. Kegigihan beliau mampu merubah
budaya maladaptif (bersifat merusak) yang telah mengakar dalam masyarakat Belu menjadi budaya yang
adaptif.
Tradisi Hasai Hai, tradisi yang
menjadi tantangan bagi Rosalinda Delin untuk memerangi kematian ibu dan anak.
Tradisi ini merupakan tradisi pengasapan bagi ibu yang baru melahirkan dan bayi
baru lahir selama 42 hari. Ibu dan bayi dipanaskan dengan tiduran di atas balai
yang dibawahnya menyala kayu bakar, seperti dipanggang. Tradisi ini dilakukan setiap setelah mandi pagi dan sore hari. Tujuan masyarakat melakukan
tradisi ini adalah untuk membuat ibu dan bayi mendapat kehangatan. Namun, secara ilmiah, tradisi ini justru mengakibatkan ibu dan bayi mengalami gangguan pernapasan dan
dehidrasi akibat pengasapan. Tradisi inilah yang menjadi tantangan bagi
Rosalinda Delin sebagai bidan desa, tenaga kesehatan yang melayani masyarakatnya
dengan sepenuh hati.
Hal yang menarik adalah strategi
beliau dalam merubah tradisi Hasai Hai menjadi tradisi yang adaptif tanpa
mengurangi tujuan masyarakat melakukan Hasai Hai. Untuk memberikan pemahaman
akan bahayanya tradisi Hasai Hai, Rosalinda Delin menunjukkan simulasi
sederhana bagaimana pengasapan ibu dan bayi dapat menimbulkan efek dehidrasi.
Beliau menggunakan ikan dan arang untuk menggambarkan kondisi ibu dan bayi yang
sedang di ‘panggang’ dalam tradisi Hasai Hai. Tidak hanya menunjukkan bahwa
tradisi tersebut berbahaya, namun beliau mengusulkan untuk memberikan selimut
kepada ibu dan bayi untuk memberikan kehangatan. Cara-cara kreatif itulah yang
membuat masyarakat mulai sadar bahwa tradisi pengasapan dapat memperburuk
kesehatan ibu dan bayi. Kini, budaya Hasai Hai mulai terkikis secara perlahan.
Tradisi Hasai Hai Sumber gambar: BBC Indonesia |
Menurut Landrine & Klonoff (2004), budaya merupakan salah satu faktor yang sangat memengaruhi perilaku sehat individu. Oleh karenanya, budaya dapat menjadi
senjata yang ampuh untuk meningkatkan kesehatan masyarakat namun juga berlaku
sebagai boomerang bagi kesehatan. Hasai Hai bukan merupakan satu-satunya tradisi maladaptif yang ada di Indonesia. Masih banyak sekali tradisi-tradisi lainnya, mengingat bahwa Indonesia merupakan negara multikultural, memiliki ribuan suku bangsa. Oleh karena itu, tradisi yang maladaptif di masyarakat
tidak hanya menjadi tantangan bagi Rosalinda Delin, namun juga bagi setiap
tenaga kesehatan di seluruh pelosok tanah air.
Pelajaran lainnya adalah karakter yang dimiliki beliau. Sebagai tenaga kesehatan, melayani kesehatan di masyarakat dengan sepenuh hati adalah suatu kewajiban. Beliau tidak membutuhkan sebuah penghargaan atau pengakuan dari orang lain sehingga apa yang dilakukannya atas dasar keikhlasan. Selain itu, beliau bahkan pernah memiliki pengalaman beradu cepat dengan dukun beranak untuk sampai di rumah ibu yang akan bersalin. Dengan segala keterbatasan yang dihadapi, kegigihan dan keberaniannya patut dijadikan potret Kartini masa kini. Menurut saya, tidak hanya bagi bidan desa saja, namun juga seluruh tenaga kesehatan termasuk perawat, dokter, apoteker, dan lainnya perlu meneladani karakter beliau.
Sekali lagi, Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia! :)
Pelajaran lainnya adalah karakter yang dimiliki beliau. Sebagai tenaga kesehatan, melayani kesehatan di masyarakat dengan sepenuh hati adalah suatu kewajiban. Beliau tidak membutuhkan sebuah penghargaan atau pengakuan dari orang lain sehingga apa yang dilakukannya atas dasar keikhlasan. Selain itu, beliau bahkan pernah memiliki pengalaman beradu cepat dengan dukun beranak untuk sampai di rumah ibu yang akan bersalin. Dengan segala keterbatasan yang dihadapi, kegigihan dan keberaniannya patut dijadikan potret Kartini masa kini. Menurut saya, tidak hanya bagi bidan desa saja, namun juga seluruh tenaga kesehatan termasuk perawat, dokter, apoteker, dan lainnya perlu meneladani karakter beliau.
Sekali lagi, Selamat Hari Kartini, perempuan Indonesia! :)
Sumber rujukan:
Landrine, H., & Klonoff, E. A. (2004). Culture Change and Ethnic-Minority Health Behavior: An Operant Theory of Acculturation. Journal of Behavioral Medicine, Vol. 27, No. 6, 527-555
Majalah Tempo edisi Khusus Hari Kartini