Pada akhirnya saya memutuskan untuk
membuat tulisan tentang keputusan menimba ilmu di sebuah pesantren. Kalau
pakai bahasa legislatif, saya telah menimbang, memutuskan untuk menjadi seorang
santri pascakampus. Setelah lulus profesi, kalau “lurus” dalam dunia karir,
mungkin pilihan berikutnya antara bekerja sebagai perawat atau tenaga kesehatan
profesional di sebuah instansi, atau melanjutkan kuliah lagi. Pokoknya seputar
lanjut kerja atau meraih pendidikan lebih tinggi lagi.
Keputusan menjadi seorang santri
setelah lulus sarjana adalah keputusan 180 derajat dalam hidup. Opsi ini muncul
ketika saya duduk di semester delapan karena dipicu oleh suatu alasan. Alasan yang
sayapun tidak memahami bagaimana prosesnya itu bisa saja hadir dalam pikiran
dan terpatri dalam hati. Can we call it
as Hidayah? Surely, I’m not sure. Maybe yes. And I feel blessed of that.
Kalau dalam dunia perdebatan, istilahnya
banyak yang pro dan kontra. Heran juga ya, yang mau nyantri siapa, yang banyak
komentar siapa. But I called it as sign of loveliness. Bukti
banyak yang perhatian. Hehe.. Alhamdulillah untuk ke-sekian kalinya, Mama dan
Bapak justru mendukung. Sisanya, beragam pendapat bermunculan, baik dari
kerabat dekat, teman dekat, atau yang mungkin saya aja bahkan nggak kenal
dengan ybs. Apa saja pendapatnya?
“Mak pojur be’en ende monduk (Kok beruntung kamu mau mondok).”
“Mak gik monduk mon la a sarjana? (Kok masih mondok kalau udah
sarjana?).”
“Jangan lama-lama. Emang nggak
mau lanjut S2?.”
“Kamu nggak mau kerja?”
“Emang kamu bakal betah di
pondok?”
Dst...
Alhamdulillah Allah ciptakan bibir
untuk bisa memberikan senyuman dalam menghadapi berbagai pendapat itu. Hehe..
:D
Pada akhirnya, meski hati sedikit
goyah, tapi qadarullah dan pada akhirnya saya sudah merasakan jadi santri
selama sebulan. Apa rasanya? Nano-nano. Ada asamnya, ada manisnya, ada
pahitnya. Pokoknya segala macam rasa. Kok cuma sebulan? Iya, saya masuk pondok
tanggal 25 Oktober dan dapat libur Maulid Nabi selama sepuluh hari terhitung
dari tanggal 29 November 2017 – 8 Desember 2017. Jadi, besok saya akan kembali
lagi. Ulala~
Pertanyaan berikutnya yang
teramat sering ditanyakan sepulang dari pondok yang sebulan itu.
“Kamu betah?”
Jangankan sebelum pulang, baru
tiga hari di pondok aja udah di tanya, “Betah?” oleh ustadzah di pondok. Dalam
hati ingin bilang, “Ustadzah, ini masih tiga hari, saya butuh yang namanya
proses adaptasi.”. :’D Teman-teman di pondok yang bahkan udah mondok 3 bulan,
setahun, bahkan dua tahun aja masih bilang belum betah. Wkwkwk.
Perkara betah atau nggak betah, akhirnya saya jawab, “InsyaAllah.”. Maknanya, ya dengan izin Allah saya
mudah-mudahan bisa betah. Karena sesungguhnya ada sisi yang membuat saya nyaman
dan tidak nyaman. Nyaman karena banyak ilmu yang bisa didapat, insyaAllah. Sepanjang waktu rasanya dominan untuk ibadah, jauh dari handphone, karena saya
merasa sudah terkena sindrom adiksi terhadap penggunaan HP yang tidak pada
tempat dan waktunya. Jadi, ibaratnya kalau di rumah, if you have so much
time, you have many options to do, whether to check your gadget (handphone or
laptop) or read some books or novels. Kalau di pondok, you don't have that kind of choice.
Pilihannya cuma baca Al-Qur’an, baca kitab pelajaran, tidur, atau ngobrol sama
teman karena di Pondok tidak diperbolehkan membawa HP dan buku bacaan selain pelajaran. Opsi dua terakhir ini kurang cocok sama saya. Jadi itulah mengapa saya justru merasa nyaman dengan dibuat kondisi yang seperti itu.
Aspek ketidaknyamanannya
menyangkut kebutuhan dasar manusia, seperti mandi, makan, tidur. Sebenarnya
bukan tidak nyaman sih, tetapi karena faktor pembanding saat kenyamanan di
rumah. Kalau tidak dibandingkan, it’s okay. Those condition thought me how to
live a humble life. Semua tentang hidup dengan sederhana. Hidup dengan menerima
apa yang ada. Di saat kamu cuma dapat nasi sepiring tanpa lauk, ya
Alhamdulillah. Di saat kamu cuma dapat lauknya aja tanpa nasi, ya
Alhamdulillah. Saat kamu kehilangan sabun, ya Alhamdulillah juga. Mau kesal
juga percuma, ya kan? Kalau pikiran lagi sehat, obatnya dengan kalimat, “Emang
sabun punyamu? Kamu punya apa di dunia ini? Orang semuanya pinjaman dari Allah,
ya kan?”. Terima kasih kepada ustadz YM, karena ceramahnya yang dapat
memberikan pandangan pada saya, bahwa sejatinya manusia itu hanya meminjam.
Terima kasih kepada ustadz Adi yang juga menambahkan pandangan itu, kalau kita
diberikan kelebihan, orientasikan bagaimana barang/sesuatu itu dapat menjadi ladang
pahala bagi kita.
Tentang pertemanan juga.
Alhamdulillahnya meskipun badan saya agak mungil wkwk, tapi berdasarkan teori
tumbuh kembang sih katanya udah dewasa. Haha.. Jadi, ya cukup bisa menilai mana
yang patut dan tidak untuk ditiru. Kadang suka kasihan sama yang udah di suruh
mondok sejak kecil. Saya bingung sih sebenarnya, apakah itu termasuk beruntung karena
sudah dipahamkan tentang agama sejak kecil atau nggak. Karena mereka masih
teramat sangat belia sekali, usia TK sudah di pondok. Antara salut atau
kasihan. Ini cuma pendapat dan ini hal yang amat sangat debatable, menurut saya. Tapi belum berani kasih pendapat tegas
karena belum banyak baca dan merenungi riset-riset atau literatur ilmiah
mengenai usia belia di pondok pesantren dari segi tumbuh kembang, sosial, dsb.
Seems like interesting, right? Karena kalau punya anak nanti, jadi bisa buat
bahan pertimbangan seandainya ingin menempatkan anak di pondok pesantren,
sebaiknya pada usia berapa sih idealnya untuk bisa mondok? Sebenarnya itu
pertanyaan pribadi, wkwkkw. Yang punya pendapat, boleh banget lho. Hehe.. Very
pleased to discuss.
Oke, kayaknya udah kepanjangan.
Pada kesimpulannya, saya memutuskan menuntut ilmu agama supaya lebih paham lagi
karena masih merasa bodoh dan merasa butuh itu. Ternyata setelah selama sebulan
ini, memang benar masih bodoh dan sangat dibutuhkan ilmunya, terbukti
banyak yang belum saya ketahui. Innalillahi, Astaghfirullah, wa Alhamdulillah.
Hehe.. kayaknya ini tergolong terlambat. Late
is better than never, right? Mengutip nasihat dari Imam Asy-Syafi'i, bahwa "Hakikat seorang pemuda adalah ilmu dan taqwa". Doa'kan semoga saya diteguhkan hatinya, dan semoga Allah meneguhkan hati pembaca dalam iman dan taqwa. Aamiin.
Sekian, semoga berfaedah. Wassalam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Yuk, berikan komentarmu! :D No spam comment yaaaaa..