Jumat, 19 Juli 2019

Menemukan Oase di Bangsal Anak

Standard

Halooooooooo readers!
Apa kabar? Jumpa lagi dengan tulisanku.

Pesan pengantar tulisan ini adalah "Buruk belum tentu buruk, baik belum tentu baik".


Ide utama tulisan ini merupakan hasil perenungan selama menjadi perawat di bangsal anak sejak 3,5 bulan yang lalu.

Sesungguhnya, menjadi perawat di bangsal anak adalah hal yang sangat tidak aku harapkan. Sejak awal proses keputusan menjadi perawat di rumah sakit, yang kuharapkan adalah menjadi perawat di ruang gawat darurat atau bangsal dewasa. Alasannya adalah sulitnya membangun trust dengan anak ketika mereka tau bahwa perawat akan membuat mereka merasa sakit.

Beberapa tahun lalu saat praktik klinik di bangsal anak pada masa perkuliahan, kali pertama aku merasa bahwa kehadiranku sebagai perawat, tidak dibutuhkan. Saat ingin mengukur tanda vital (suhu, nadi, dan pernapasan) anak, sudah disambut tangisan. Padahal, itu bukan tindakan invasif yang membuat mereka merasa sakit. Apalagi kalau menyentuh tubuhnya, tak jarang mereka menepis dan berontak. Lain halnya di bangsal dewasa, bantuan perawat justru dicari karena mereka merasa memerlukannya. Tak ada bentuk penolakan dan tangisan, yang ada adalah penerimaan. That's why bangsal anak menjadi salah satu yang sangat aku hindari.

Ternyata oh ternyata, sekarang justru ditenggelamkan sebagai perawat di bangsal anak. Saat hari pertama penempatan ruangan untuk orientasi kerja, benakku berkata, "Oh, Man. Kenapa aku harus di sini?". Karena aku tidak punya pilihan, yang terjadi adalah aku harus bisa beradaptasi.

Time flies....ternyata sudah tiga bulan lebih dua minggu aku jadi perawat di bangsal anak. Finally I  could say, " Alhamdulillah. Untung ditempatin di bangsal anak!!". Nah lho..........

Beberapa hal yang membuatku beruntung jadi perawat di bangsal anak. Pertama, aku belajar untuk jadi orang yang mudah memberikan apresiasi. Anak lebih senang kalau dipuji. Jadi, sedikit hal positif yang kita temukan, harus diapresiasi. Semua bentuk apresiasi yang kita berikan akan membuat mereka senang. Membuat mereka senang adalah poin bagus untuk membangun trust. Kedua, aku jadi orang yang mudah mengungkapkan rasa sayang. Entah dengan memanggil mereka dengan sebutan "sayang", mengelus rambutnya, menggendong, mengusap dahinya, senyum dan sebagainya. Kalo di bangsal dewasa kan nggak mungkin manggil mereka "sayang", nanti jadi baper pasiennya, hahha... :D Ketiga, aku jadi lebih banyak bersyukur kalau lihat anak-anak yang sehat di luar sana, meskipun bukan anak atau adik sendiri. Biasanya, kalau lihat anak sehat, biasa aja. Sekarang jadi suka nyeletuk, Alhamdulillah dia jadi anak yang sehat. Keempat, belajar tentang pengorbanan orang tua khususnya ibu. Bagaimana orang tua sangat rela berkorban ketika anak sakit. Khususnya bagi anak dengan penyakit-penyakit tertentu. Lelahnya menjaga dan merawat anak sakit. Setiap tiga jam harus memberikan susu, ganti diapers, dan seringnya sedikit tidur. Kadang suka memperhatikan raut wajah mereka semua dan ingin bertanya bagaimana perasaan dan apa yang sedang dipikirkan. Secara tidak langsung, mereka semua memberikanku gambaran tentang keikhlasan perjuangan orangtua ketika anaknya sedang sakit. Dan mungkin masih banyak hal yang bisa dipelajari kalau lebih direnungi lagi lebih dalam.

Belajar bukan hanya di lingkungan pendidikan. Guru bukan hanya untuk mereka yang punya titel profesi guru. Semua orang yang memberi pelajaran adalah guru. Jadi, semua pasien dan keluarga di bangsal anak adalah guruku. Mereka adalah oaseku di bangsal anak. Terima kasihku untuk Allah dan mereka yang mengajariku banyak hal. :") Semoga semua anak bisa sehat selaluuuu~~ Aamiin!


Cileungsi, 19 Juli 2019