Rabu, 06 Januari 2021

Gosipin Sosial Media

Standard



Hi, readers! Apa kabar? Semoga selalu sehat di tengah situasi pandemi ini.

Well, Aku mau ngajak diskusi soal penggunaan sosial media dan ini sudah menjadi perdebatan dengan diriku sendiri sejak tahun 2017 silam. Sebelum tahun 2017, aku cukup socially active in most frequently used social media platform, let's say: Aku main Facebook sudah dari tahun 2008, main twitter dari tahun 2009, blogger dari tahun 2008, instagram dari tahun 2014, dan LinkedIn tahun 2014. Lainnya : friendster, plurk, ask.fm, quora, line, WhatsApp, dll. Banyak juga ya, wkwkwkwk.... Pada akhirnya, sekarang cuma aktif di beberapa diantaranya saja yang memang diperlukan.

Banyak juga yang bertanya: Iin kok hilang? Kenapa nggak punya instagram? kenapa Facebooknya di hapus?

Yes! Pada tahun 2017, setelah self-talk dan berdiskusi dengan diri sendiri, mempertimbangkan banyak hal, karena sudah merasa toxic dengan sosial media, akhirnya aku menghapus : akun instagram, facebook, dan LinkedIn. Berat pada awalnya karena semua koneksi teman dan keluarga terkesan terputus. Berangkat pada keyakinan bahwa "kalau memang ada suatu informasi yang harus aku dapat, bagaimanapun caranya pasti akan sampai meski tidak melalui kedua platform tersebut", I click deleted account permanently.

Seberapa toxic sosial media? Tergantung masing-masing individu. Ada film dokumenter yang berjudul "The Social Dilemma" yang membahas bagaimana sosial media membuat penggunanya merasa ketergantungan. Film ini rilis awal tahun 2020 yang menceritakan tentang dark side dari penggunaan sosial media yang diungkap oleh para developer sosial media seperti Google, Facebook, Youtube, twitter, pinterest, instagram, dll. Film ini mengungkap bahwa dibalik layar sosial media, terdapat mekanisme yang dibentuk untuk membuat penggunanya merasa ketergantungan dan menghabiskan banyak waktu menatap layar smartphone serta kepentingan-kepentingan untuk bisnis dengan memanfaatkan algoritma sosial media yang digunakan. 

Sosial media itu ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi, sosial media sangat menguntungkan dalam membangun koneksi dan mendapatkan informasi tanpa batas ruang dan waktu. Pada sisi lainnya, ternyata sosial media ini juga memiliki sisi gelap yang sebaiknya diketahui oleh para penggunannya. Dampak negatif utama yang dirasakan sebagai pengguna adalah adiksi atau ketergantungan terhadap sosial media. Berdasarkan film The Social Dilemma, para developer merancang suatu algoritma yang akan menyuguhkan informasi kepada pengguna sesuai apa yang diminati berdasarkan histori browsing yang kita lakukan. Misalnya, Youtube memberikan recommended video yang serupa dengan video yang biasa kita konsumsi, lalu ada iklan yang muncul di sosial media kita yang relate dengan sesuatu yang sedang dicari. Semua itu terjadi karena sistem teknologi yang menyimpan data kita secara tidak disadari. Dari film dokumenter tersebut, aku juga baru mengetahui bahwa search engine seperti Google juga menyimpan data kita berdasarkan hal yang sering kita cari melalui riwayat pencarian untuk kepentingan advertisement. Bahkan, ketika kita hendak mencari informasi di Google, hasil penelusuran akan berbeda untuk tiap individu berdasarkan record data pengguna. Tidak hanya itu, hanya berdasarkan data tersebut, sosial media akan tahu tentang perasaan, referensi, minat, lokasi, dan kecenderungan perilaku penggunanya. Menurutku, semua itu bisa diantisipasi jika kita memahami bagaimana kita memproteksi data pribadi dalam gawai daring ini dan aku mulai menerapkannya.

Opsi pertama, melakukan setting keamanan dan privasi pada web browser dan search engine yang digunakan. Karena sumber data yang digunakan berdasarkan histori pencarian yang kita lakukan, maka kita dapat mencegahnya dengan menghapus historinya atau menggunakan tab penyamaran (Incognito). Tab penyamaran atau Incognito tidak akan menyimpan histori pencarian yang kita lakukan dan memberikan data kepada pihak ke-tiga. 

Opsi kedua, gunakan search engine dan web browser with privacy. Ada banyak web browser selain Google Chrome dan Microsoft Edge yang diklaim lebih memberikan sekuritas data pengguna, yaitu Firefox, Iridium browser, Brave browser, Bromite. Sedangkan search engine dengan privasi dapat menggunakan Metager, Swisscows, Qwant (nont available in Indonesia), & DuckDuckGo. 

Aku bukan ahlinya dalam permasalahan teknologi, sosial media, artificial intelligence, dan teman-temannya, tapi sebagai salah satu penggunanya, aku ingin menyampaikan bahwa kita harus bisa bijak dan cerdas. Bijak dalam penggunaanya, sesuai porsi dan kebutuhan. Terlebih lagi jika penggunanya adalah kelompok usia anak-anak atau remaja. Maka, orang tua berperan penting untuk "menjaga dan mengawasi" dalam penggunaan sosial media. Juga cerdas dengan meningkatkan keamanan dan menjaga privasi data kita agar tidak disalahgunakan. Mengutip perkataan pembicara TEDTalks, Ryan Thomas, yang sangat mewakiliku secara pribadi over years ago related to social media:


*I am finding a way to back to the nature, to walk on the green grass, and to inhale fresh oxygen while close my eyes~* 


Sumber :

https://restoreprivacy.com/private-search-engine/
https://restoreprivacy.com/browser/secure/
https://www.ted.com/talks/ryan_thomas_live_in_the_moment_delete_social_media/transcript?language=en