Sabtu, 30 Mei 2020

Kematian Pasien

Standard


Assalamualaikum readers.. 
Semoga sehat selalu ditengah pandemi Covid-19 yang entah sampai kapan akan berakhir.. 

Judul postinganku kali ini agak mengerikan ya? Membahas kematian pasien.. Sebenarnya bukan untuk membahas bagaimana terjadinya kematian pasien, tetapi lebih kepada respon emosional perawat dalam menghadapi kematian pasien. Ide ini berawal setelah dua hari berturut-turut selama dinas, aku menghadapi kematian pasien di IGD. Meski itu bukan kali pertama, tapi sudah entah keberapa kalinya pengalaman menghadapi kematian pasien dan keluarga yang ditinggalkan. Ketika itu, saat melepas semua alat medis pada pasien yang telah meninggal tersebut, aku selalu bertanya dengan diri sendiri, apakah hatiku akan mati rasa karena terbiasa menghadapi ini? Mengapa aku tidak bisa menangis? Bagaimana seandainya jika yang meninggal adalah kerabat dekatku? Akankah pengalaman yang 'biasa' ini mempengaruhiku dalam berespons terhadap kematian seseorang meskipun terjadi pada orang terdekatku sekalipun?

Sewaktu kecil, aku sangat takut sekali dengan jenazah. Bahkan amat sangat takut hantu, film horror, keranda, dan sejenisnya.  Seiring waktu, rasa itu memudar. Saat menjadi mahasiswa keperawatan, kali pertama aku menghadapi kematian pasien, aku tidak berani untuk melihat perawat membersihkan semua alat medis dari pasien yang meninggal. Aku lebih memilih memberi support emosional pada keluarga yang ditinggalkan, menemaninya, dan memberi ruang untuk mengekspresikan kesedihannya. Kemudian, setelah sekian lama dan aku menjadi perawat, untuk sekian lamanya kembali aku menghadapi kematian pasien. Seketika rasa takut yang dahulu itu hilang, yang ada hanya perasaan bimbang dan tidak bisa lagi menjelaskan apa yang dirasakan saat aku melepas semua alat medis pasien tersebut. Tidak ada lagi yang bisa aku ucapkan kepada keluarganya. Hanya menyelesaikan apa yang seharusnya diselesaikan. Pada momen lain, aku merasa sangat kehilangan dan sedih saat pasienku meninggal. Hingga membuatku bisa menuliskan tiga karya untuknya di blog ini juga. Hal itu terjadi karena interaksiku dengannya cukup dekat dan sering. Setelah berpindah tugas di IGD, aku menjadi lebih sering menghadapi kematian pasien. Setelah sekian kalinya melepas alat medis dan merapihkan tubuh pasien yang meninggal, sudah tidak bisa merasakan apapun. Tidak ada usaha apapun juga dariku untuk mencoba berbicara dengan keluarganya karena memang tidak tahu harus berkata apa. Pun jika aku mencoba bertanya pada diri sendiri, akupun tak tahu bagaimana harus menjawab tentang apa yang kurasakan. 

Pengalaman ini membuatku penasaran, apakah hal ini wajar terjadi? Aku sempat menyampaikan kerisauanku ini pada teman sejawatku yang juga sesama perawat saat melepaskan alat medis pada pasien yang meninggal, bahwa aku takut hal ini membuatku mati rasa. Tapi tak ada jawabnya juga. Akhirnya, aku mencoba mencari riset tentang hal ini, dan ternyata sudah banyak yang melakukannya.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa respon emosional perawat terhadap kematian pasien dapat berbeda tergantung usia pasien,  ekspektasi kondisi pasien menuju kematian, pengalaman pertama menghadapi kematian pasien,  menghubungkan kematian pasien dengan kehidupan personal, dan lamanya interaksi dengan pasien dan keluarganya. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa respon emosional ini juga dapat berbeda antara menghadapi kematian di rawat inap dan IGD. Penelitian menunjukkan bahwa reaksi menghadapi kematian di IGD adalah shock dan terkejut sedangkan di rawat inap, reaksi yang sering muncul adalah perasaan sedih dan berduka mendalam. Reaksi emosi yang mungkin muncul menghadapi kematian pasien di rawat inap: kesedihan, ketidakberdayaan,  berduka, kekecewaan, simpati, tangisan, merasa terganggu, sakit hati,  iritasi, trauma, cemas. Sedangkan di IGD : frustasi, shock,  ketidakberdayaan, bingung, dan kaget. Ditemukan juga dokter mengalami insomnia, kelelahan sebagai akibat dari respon emosional seperti kesedihan dan kekecewaan. 

Banyak studi menemukan bahwa kematian di IGD memberi pengaruh minimal terhadap emosional. Hal ini terjadi karena situasi di IGD unik dn berbeda dari ruang rawat inap, karena umumnya jarang terjadi hubungan yang begitu dekat dengan pasien dan keluarganya. Kematian terjadi secara tiba-tiba, bisa terjadi pada yang muda dan yang sebelumnya sehat-sehat saja. Setelah menghadapi kematian pasien, biasanya segera ke tindakan pasien lainnya. Selain itu, studi lain menunjukkan bahwa yang membuat perawat IGD sulit memberikan perhatian lebih kepada keluarga pasien yang meninggal karena kesibukan lain,  kurangnya privasi, dan diharuskan merawat pasien lainnya. Hal ini menjadi tantangan bagi perawat untuk tetap bisa memberikan perhatian dan memberikan support kepada keluarga pasien yang ditinggalkan. Namun, perawat juga tetap bisa memberikan support dalam bentuk perhatian pada pasien yang meninggal berupa mengijinkan keluarga hadir ketika tindakan resusitasi,  menyediakan ruangan yang nyaman, memberikan privasi bagi pasien dan keluarga pasien untuk melepas duka. Fakta lainnya, penelitian menganjurkan adanya sesi debriefing dan counseling dalam menghadapi kematian di IGD.  

Pada kesimpulannya, respons emosional menghadapi kematian pasien bisa berbeda-beda dan banyak faktor yang mempengaruhinya. Satu hal positif yang dapat dilakukan sebagai tenaga medis dalam menghadapi kematian pasien adalah meyakini bahwa telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan pasien. Ini salah satu dari hasil penelitian yang kubaca. Kematian memang bukan kuasa manusia. Setelah kupikirkan, pentingnya untuk terus belajar dan mengupgrade ilmu adalah kewajiban sebagai tenaga kesehatan. Hal tersebut juga menjadi salah satu upaya dan tindakan konkrit dalam membuktikan "telah melakukan yang terbaik" untuk menghadapi kematian pasien sebaik-baiknya. Selain itu, hanya diri kita sendiri yang dapat menilai apakah perlu untuk konseling atau tidak. Karena tidak ada salahnya mencari bantuan professional ketika dinilai sudah mengganggu kehidupan pribadi. 

Sumber:

Nicholas J. B., et al. 2017. The effect of patient death on medical students in the emergency department. BMC Medical Education 


Kerry Anne-Hogan, et al. 2016. When someone dies in the Emergency Department: Perspectives of Emergency Nurses. Journal of Emergency Nursing. 



Rabu, 13 Mei 2020

Istiqamahkan Hati, Menjaga Hijrah Hingga Nanti

Standard

Istiqamahkan Hati, Menjaga Hijrah Hingga Nanti
“Hijrah” merupakan kata yang sering digaungkan oleh banyak orang, khususnya kaum pemuda. Bahkan, hijrah juga menjadi salah satu topik kajian yang menarik dan sering dibahas serta diperbincangkan. Terlebih lagi, tidak sedikit artis Indonesia yang juga menggaungkan fenomena hijrah sehingga menambahkan eksistensi kata hijrah itu sendiri. Euforia hijrah tak jarang bagaikan kondisi air laut, kadang pasang, dan kadang pula surut. Pasang saat semua berbondong-bondong menggaungkan semangat untuk hijrah. Surut ketika diri mulai lengah karena begitu banyak tantangan dalam menjaga hakikat hijrah dalam kehidupan, yaitu istiqamah. Seperti kata pepatah, “semakin tinggi pohon, semakin lebat buahnya, semakin kencang anginnya”, maka menjaga ke-istiqamah-an dalam berhijrah sesungguhnya sangat tidak mudah, kecuali memiliki ilmu untuk selalu mengupayakannya.
Hijrah banyak dimaknai dengan berpindah menjadi pribadi yang lebih baik. Dalam Islam, ada dua jenis hijrah, yaitu hijrah zahir atau fisik dan hijrah jiwa atau spiritual. Hijrah zahir, yaitu berpindah tempat tinggal atau tempat. Hijrah spiritual, yaitu menuju pada perbaikan diri. Adapun Rasulullah SAW bersabda, “Muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan segala laranganNya (H.R. Imam Bukhari)”[1]. Maka, hijrah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah hijrah spiritual.
Pembahasan tentang proses hijrah seperti mengulas proses menanam pohon yang berbuah. Pada saat menanam, kita akan memilih bibit terbaik untuk menghasilkan buah yang juga terbaik. Dengan harapan akan memperoleh buah yang baik, maka setiap detik pertumbuhannya akan diperhatikan dan dijaga dengan baik. Jika ada serangga atau hama pada tanaman, makan akan segera dihilangkan. Dalam rangka menjaga tanaman untuk terus bertumbuh, tak jarang diberi pupuk. Segala upaya akan dilakukan hingga buah dari pohon dapat dipetik. Begitu pula dengan proses dalam berhijrah. Hal yang sangat penting sebelum memulai hijrah adalah menentukan niat. Niat diibaratkan pemilihan bibit terbaik sebelum menanam. Rasulullah SAW menegaskan tentang niat dalam berhijrah pada sebuah hadis shahih, “Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya untuk Allah dan RasulNya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju. (HR. Bukhari no.1 dan Muslim no. 1907)”. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sebaik-baik niat hijrah adalah untuk Allah dan RasulNya.
Buah terbaik dari hijrahnya seseorang adalah istiqamah. Istiqamah berasal dari kata “Qaama” yang artinya tegak lurus, berdiri. Dalam kitab Jami'ul 'Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab rahimahullah mendefinisikan istiqamah sebagai meniti jalan yang lurus, yaitu agama (Islam) yang lurus, tak bengkok ke kanan dan ke kiri, dan mencakup pelaksanaan semua ketaatan, baik yang zhahir maupun batin, dan menghindari semua larangan-larangan (Allah)[2]. Ibnul Qayyim menambahkan makna tentang istiqamah dalam kitabnya Madarijus Salikin, bahwa istiqamah itu terkait dengan ucapan, perbuatan dan niat[3]. Istiqamah dalam berhijrah, artinya upaya terus-menerus dalam meniti dan menegakkan jalan yang lurus serta bentuk sinergi antara batin dan zahir melalui akhlak yang mulia.
Apabila buah dari hakikat proses hijrah adalah istiqamah, maka pokok dasar istiqamah adalah tentang hati. Rasulullah SAW bersabda bahwa “Tidak akan istiqamah (tegak) iman seorang hamba hingga hatinya istiqamah (HR. Ahmad dalam al-Musnad No.13048, dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah)”. Hadits Nabi SAW juga menyebutkan, “Sesungguhnya dalam jasad ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, maka baik pulalah seluruh jasad dan jika segumpal daging itu rusak, maka rusaklah seluruh jasad. Segumpal daging itu adalah qalbu (hati).” (HR. Bukhari No. 52 dan Muslim No. 1599). Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah pun mengatakan bahwa “Pokok istiqamah adalah istiqamahnya hati di atas tauhid”. Pentingnya aspek hati dalam mencapai istiqamah ini pula menunjukkan betapa pentingnya keterlibatan kondisi hati dalam proses hijrah.
Pada kenyataannya, urusan tentang hati dalam proses hijrah untuk mewujudkan istiqamah merupakan tantangan yang tidak mudah. Hal yang menyebabkan ini menjadi tidak mudah adalah manusia memiliki hawa nafsu yang membuat iman berada pada kondisi pasang-surut. Keadaan pasang-surut iman seseorang ini menggambarkan kondisi hatinya, apakah dia dalam keadaan qalbun salim (hati yang bersih) atau keadaan qalbun maridh (hati yang sakit) atau bahkan qalbun mayyit (hati yang mati). Saat kondisi hati sedang baik, maka yang akan muncul adalah semangat dalam beribadah, menuntut ilmu agama, dan berusaha menjauhi segala maksiat. Sebaliknya, apabila hati dalam keadaan sakit, maka akan timbul rasa malas, mungkin saja kembali lagi pada kondisi saat sebelum hijrah. Hal lebih buruk dari kondisi hati yang sakit adalah matinya hati. Saat hati dalam kondisi mati, maka tidak dapat menerima nasihat apapun dan hal paling buruk yang mungkin terjadi adalah berpalingnya dari Allah SWT.
Beruntung sekali Indonesia memiliki banyak komunitas dan tokoh-tokoh influencer serta lingkungan yang mengajak pada jalan kebaikan menuju proses hijrah. Komunitas pemuda muslim di Jakarta, seperti Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar, Remaja Islam Sunda Kelapa (RISKA) Menteng, YukNgaji!, Muzammil Hasballah sebagai salah satu influencer, dan masih banyak lagi. Peluang-peluang kebaikan tersebut adalah salah satu upaya menjaga kondisi hati tetap sehat dan menyembuhkan hati yang sakit. Akan tetapi, kita juga perlu belajar dari kisah orang lain yang telah hijrah namun hatinya dipalingkan atas kehendak Allah SWT. Dapat kita ambil contoh salah satu selebgram Indonesia yang sebelumnya berbusana serba terbuka hingga hijrah dan mengenakan hijab menutupi lekuk tubuhnya. Namun, kini selebgram yang telah hijrah tersebut, telah berpaling dari agama Allah SWT. Tidak sedikit pula tokoh terkenal yang keluar dari agama Allah setelah mendapat petunjuk dariNya. Hal ini menunjukkan bahwa urusan hati dalam proses hijrah sangat tidak bisa diremehkan. Nabi Muhammad SAW telah bersabda bahwa, “Ya! Sesungguhnya hati (para hamba) itu berada diantara dua jari dari jari-jemari Allah, Dia membolak-balikkannya sesuai dengan yang Dia kehendaki!”. [HR. At-Tirmidzi, Ahmad, dan selainnya, dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi 2140][4]. Selama proses hijrah, kita tidak boleh lupa bahwa yang menggenggam dan berkuasa terhadap hati manusia adalah Allah, Dialah yang Maha Membolak-balikkan hati manusia. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW senantiasa berdo'a sekaligus mengajarkan kepada ummatnya agar hati kita selalu teguh dalam agama Allah, yaitu 
يا مقلب القلوب ثبت قلبي علي دينك
yang artinya, “Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hatiku di atas agama-Mu.”
Selain mendawamkan do'a yang diajarkan Rasulullah SAW, kita juga perlu melakukan beberapa upaya dalam menjaga istiqamahnya hati dalam proses hijrah. Syekh Al Buthi, dalam kitabnya yang berjudul Bathin al-Itsm menyebutkan solusi dalam permasalahan hati/dosa batin yang tersembunyi, yaitu senantiasa melakukan refleksi diri dengan merenungi tujuan hidup atau hakikat hidup manusia dan senantiasa mengingat adanya pengawasan Allah SWT terhadap segala perbuatan manusia, membiasakan diri mengingat Allah dengan berdzikir, wirid, dan/atau tilawah Al-Qur'an, memperbanyak do'a, dan menghindari memakan sesuatu yang haram[5]. Sayid Abu Bakr dalam kitabnya yang berjudul Kifayatul Atqiya menambahkan tentang upaya mengobati hati, yaitu dengan berkumpul bersama orang-orang yang shaleh, yang dapat membimbing dan menjadi cermin kehidupan yang lebih baik. Selain itu, Syekh Al-Buthi juga menyebutkan bahwa diantara sebab matinya hati adalah penyakit hati dan maksiat yang dilakukan dari ujung kaki hingga ujung kepala manusia. Hal ini sesuai dengan ancaman Allah dalam surat Al -Muthaffifin ayat 14, yang berfirman bahwa “Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka”.
Sejatinya, proses hijrah terus berlangsung selama kita masih bernapas. Apabila dikembalikan pada analogi proses menanam tanaman, maka kondisi saat tanaman mati itulah menggambarkan pula kondisi saat ajal menjemput kita. Apakah kita ingin tanaman itu mati dengan meninggalkan banyak buah yang manis atau sebaliknya? Tanpa ragu, setiap hambaNya pasti menginginkan malaikat pencabut nyawa mengambil nyawa kita dalam sebaik-baiknya keadaan, yaitu husnul khotimah. Oleh karena hakikat dari sebuah hijrah adalah istiqamah, dan pokoknya dari istiqamah adalah hati, maka jagalah kondisi hati agar tetap sehat (qalbun salim) hingga saatnya kita kembali padaNya. Karena sesungguhnya, hal yang paling menyakitkan dari upaya hijrahnya seseorang adalah dipalingkan hatinya setelah Allah beri petunjuk dalam hidupnya.
Wallahu A'lam Bisshowabi.
Sumber :
[1]https://www.nu.or.id/post/read/81402/hijrah-sebuah-renungan
[2] https://muslim.or.id/32376-10-kiat-istiqamah-5.html
[3]https://muslim.or.id/33387-10-kiat-istiqomah-10.html
[4] https://muslim.or.id/31345-10-kiat-istiqamah-3.html
[5] Al-Buthi, M. Said Ramadhan. (2019). Dosa (Batin) yang Tersembunyi. Yogyakarta: Penerbit Layar.

Tulisan ini telah diikutsertakan pada lomba Milad YISC Al-Azhar ke-49 dan dapat di akses juga pada https://www.yisc-alazhar.or.id/juara-lomba-karya-tulis-desain-logo-milad-49-tahun-yisc-al-azhar/ .

Semoga bermanfaat.. 

Sabtu, 02 Mei 2020

Selamat Datang di IGD!

Standard



Assalamualaikum kawans.. Alhamdulillah berjumpa lagi dengan bulan Ramadhan meskipun dalam keadaan pandemi Covid-19.

Pada saat yang sama pula, seperti biasa, diriku ingin merekam jejak kehidupan yang fana ini. Ya, barangkali ada manfaat yang bisa dipetik.. 

Di tengah pandemi Covid-19 ini, genap setahun sudah aku menjadi perawat di sebuah instansi pelayanan kesehatan di pusat kota Jakarta. Secara tidak kebetulan, tempatku bekerja kini ditetapkan sebagai salah satu rumah sakit rujukan Covid-19 di Jakarta. Aku ingin mengatakan, "Bersemangatlah dan teruslah berjuang" untuk teman-teman sejawat. Aku juga sungguh ingin mengatakan "Terima kasih" yang sebesar-besarnya atas semua perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap para tenaga kesehatan. Beragam bentuk perhatian, seperti Alat Pelindung Diri (APD),  akomodasi hotel, transportasi, video/karya musik sebagai apresiasi, makanan sehat, vitamin, kopi, susu, madu, jamu, dan semuanya yang bertujuan untuk membantu menjaga stamina dan kesehatan kami, para tenaga kesehatan yang bersinggungan langsung dengan virus bernama Corona. 

Genap setahun sudah menjalani hidup sebagai perawat, lebih tepatnya adalah perawat anak. (Baca tulisan sebelumnya : Menemukan Oase di Bangsal Anak). Seringkali kita menemukan plot twist dalam kehidupan. Plot twist kali ini adalah wabah Covid-19 dan pemindahanku dari bangsal anak menjadi unit gawat darurat alias IGD. Adalah sebuah tantangan baru saat menjadi perawat garda terdepan ketika wabah Covid-19 sedang terjadi. Risiko menjadi lebih besar saat bekerja di IGD dibandingkan dengan unit sebelumnya. Ritme dan rekan kerja menjadi berubah. Sebagai perawat memang harus siap ditempatkan di unit yang dibutuhkan ketika terjadi kejadian luar biasa, baik wabah seperti saat ini ataupun kecelakaan besar yang memakan banyak korban. 

Kini sudah hampir genap sebulan aku menjadi perawat di unit IGD. Aku jadi teringat pada momen wawancara saat seleksi pekerjaan ini. Saat itu, pewawancara bertanya, "kamu inginnya ditempatkan di mana?". Aku langsung menjawab, "saya maunya di IGD karena bisa mengasah kemampuan saya". Katanya, jawaban itu adalah jawaban mainstream dan idealis para perawat saat wawancara rekrutmen pegawai baru. Haha.. Pada akhirnya, takdir berkata aku harus ditempatkan di bangsal anak. Ketika aku sudah sangat nyaman menjalani hidup sebagai perawat anak,  keinginanku yang dulu baru terwujudkan olehNya. Sungguh sangat belum aku mengerti tentang skenario hidup ini. Tapi, hal yang kuyakini adalah sesuatu yang kita inginkan memang belum tentu yang kita butuhkan. Allah jugalah sebaik-baiknya perencana.

Bekerja di bangsal anak dan IGD sangatlah berbeda. Aku harus mengganti mindset bekerja di ruang perawatan menjadi bekerja saat kejadian emergency. Saat di ruang perawatan, mayoritas pasien dalam keadaan stabil meskipun terkadang juga menemukan kondisi/kasus emergency.  Fokusnya adalah life rehabilitation dan menjaga keadaan pasien menjadi lebih stabil. Berbeda halnya saat di IGD, kita harus selalu siap memberikan tindakan dengan protokol gawat darurat, dengan cepat, tepat, dan akurat karena fokusnya adalah life saving, menyelamatkan nyawa dan mencegah bertambahnya kerusakan fungsi tubuh. Personally, bekerja di bangsal anak sangat memuaskan sisi emosional karena pasien-pasien anak sangat memberikan hiburan tersendiri. Sedangkan di IGD memberikan kepuasan di sisi lainnya, yaitu sisi intelektual karena dituntut berpikir dan bertindak kritis, cepat, dan tepat.

Di tengah pandemi Covid-19, sebagai perawat IGD, pesanku untukmu, kalau bukan kasus emergency dan jika sangat tidak terpaksa sebaiknya hindari  IGD rumah sakit, terlebih lagi rumah sakit rujukan Covid-19. Lebih baik mendatangi pelayanan kesehatan dengan jenjang dari puskesmas, poliklinik terkait di rumah sakit tipe D, C, B, atau A. Jika memang sangat terpaksa datang ke IGD karena kasus emergency seperti sesak berat, nyeri dada menjalar ke punggung/nyeri dada dengan riwayat sakit jantung, pasien tidak sadarkan diri, dan kasus dehidrasi, kejang atau demam lebih dari 3 hari pada anak, pilihlah IGD rumah sakit yang bukan rujukan Covid-19, kecuali jika memang mengenai keluhan terkait Covid-19 seperti demam disertai sesak napas, mual/muntah, mencret dengan riwayat bepergian ke zona merah dan kontak dengan Covid-19. Untuk kondisi stabil namun memiliki keluhan merujuk pada Covid-19 pun dapat mendatangi poliklinik ODP/PDP pada rumah sakit rujukan Covid-19. 


Berikut adalah list rumah sakit rujukan Covid-19 secara nasional versi Kemenkes dan di Jakarta dengan tambahan dari SK Gubernur DKI Jakarta.



Stay safe everyone.  Jaga jarak aman 1 meter, stay at home, jika harus bepergian keluar rumah pakailah masker, jaga kebersihan tangan, dan jaga stamina tubuh dengan makan teratur dan yang sehat, banyak makan buah dan sayur, jika perlu konsumsi vitamin tambahan, dan jangan lupa bahagia! Selamat menjalankan ibadah puasa.. 




Jakarta, 2 Mei 2020
D'Arcici Al Hijra